Sejumlah
tempat tidur busa disimpan di uma atau rumah adat Mentawai di Butui,
Kecamatan Siberut Selatan, Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat.
Keberadaan barang buatan pabrik itu amat mencolok dibandingkan dengan
isi uma lainnya, seperti tengkorak binatang dan peralatan memasak yang
semuanya dibuat warga Mentawai.
“Tempat tidur itu untuk para
turis. Mereka juga yang membelinya, juga barang lain seperti tas,” kata
Aman Jazali, sikerei yang menghuni rumah adat tersebut. Sikerei adalah
pemimpin upacara adat.
Menurut Jazali, hampir setiap minggu ada
saja turis asing—biasanya dari Amerika dan Eropa—yang menginap 1-2 malam
di uma. Ada dua daya tarik di situ: mengalami sendiri kehidupan suku
Mentawai yang eksotis serta menikmati aliran Sungai Butui nan jernih
serta dikelilingi pasir dan bebatuan putih di depan uma.
Eksotisme
ala Butui tersebut masih ditambah indahnya perjalanan untuk
mencapainya, yaitu naik pompong—perahu kayu dengan mesin tempel—selama
sekitar 4 jam dari Muara Siberut, ibu kota Kecamatan Siberut Selatan,
menuju Desa Madobag. Dari Madobag, berjalan kaki sekitar 1,5 jam melalui
hutan untuk menuju uma.
Sementara Muara Siberut dapat ditempuh dengan naik kapal motor selama 10-12 jam dari Padang, Sumatera Barat.
Eksotisme Mentawai
Kehadiran
wisatawan asing ini membuat Jazali memperoleh pemasukan yang lumayan
karena setiap rombongan biasa memberinya uang sebelum pergi. Selain itu,
juga membuatnya mampu sedikit berbahasa Indonesia, Inggris, dan
berhitung.
”Saat menginap di sini, pemandu wisata dan turis asing
itu sering mengajari saya dan juga keluarga,” kata Jazali yang tidak
pernah mengenyam bangku sekolah. Sementara ketiga anaknya sekarang
belajar di sekolah hutan yang dikelola seorang biarawan karena sekolah
formal berada jauh dari umanya.
Kehadiran turis asing juga membuat
sejumlah tempat di Mentawai ditumbuhi resor mewah, terutama di kawasan
pantai yang memiliki ombak yang baik untuk selancar. Di resor-resor itu
turis berduit menikmati eksotisme Mentawai yang terdiri dari 213 pulau
sekaligus untuk berselancar.
Ombak di kepulauan Mentawai—oleh berbagai organisasi selancar—merupakan terbaik ketiga sejagat setelah Hawaii dan Tahiti.
Di
Mentawai, selancar biasanya dilakukan di Pulau Nyangnyang, Karang
Majat, Masilok, Botik, dan Mainuk. Puncak kunjungan wisatawan ada di
bulan Juli dan Agustus. Saat itu ketinggian ombak di Mentawai mencapai 7
meter.
”Pulau yang cantik. Saya akan datang ke sini lagi,” kata
Andrea, wisatawan dari Italia, tentang Mentawai yang dikunjunginya
selama satu minggu.
Cagar biosfer
Selain
cantik, Mentawai juga berperan penting bagi konservasi. Sejak tahun
1981, Badan PBB untuk Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan
(UNESCO) menetapkan Pulau Siberut di Mentawai sebagai salah satu cagar
biosfer sehingga keberadaannya harus dilindungi dan dijauhkan dari
eksploitasi.
Keeksotisan Siberut ditambah adanya empat primata
endemik Mentawai, yaitu simakobu atau monyet ekor babi (Simias
concolor), bilou atau siamang kerdil (Hylobates klosii), joja atau
lutung mentawai (Presbytis potenziani), dan beruk mentawai (Macaca
pagensis).
Untuk meneliti kekayaan primata Mentawai ini, Pusat
Primata Universitas Gottingen, Jerman, bekerja sama dengan Institut
Pertanian Bogor mendirikan Proyek Konservasi Siberut.
Terabaikan
Namun,
berbagai keunggulan itu seolah belum mampu membuat negara untuk melihat
Mentawai secara lebih serius. Fasilitas umum seperti kesehatan dan
pendidikan di daerah kaya itu umumnya masih terbengkalai. Aliran listrik
dan jalan amat terbatas.
”Dinas Pariwisata belum pernah datang ke
sini. Jika ada wisatawan yang datang, ya sudah, kami tangani sendiri,”
kata Sekretaris Desa Madobag Matheu Sabaggalek.
http://www.pasirpantai.com/sumatera/mentawai/mentawai-si-cantik-nan-eksotis/
total komentar :
No comments:
Post a Comment